Karaka News, Sorong – Pemerintah Kabupaten Raja Ampat melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengendalian Hama Terpadu Ramah Lingkungan Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Kegiatan tersebut dilaksanakan bertahap di beberapa lokasi berbeda, sejak Bulan Oktober hingga November. Dimulai dari Kampung Fafanlap (Distrik Misool Selatan), Kampung Wailabu (Distrik Salawati Tengah), Kampung Kabare (Distrik Waigeo Utara) dan Kampung Warmasen (Distrik Waisai).
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Raja Ampat, drh. Waluyo B. Hargo, saat dihubungi melalui telepon menuturkan, kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para petani lokal dalam pemanfaatan pupuk dan pengendali hama organik yang lebih ramah lingkungan.
Sementara itu, Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Raja Ampat, Irjawati Abdullah, SP menambahkan, selama ini petani di Kabupaten Raja Ampat memang mengeluhkan permasalahan biaya produksi yang tinggi.
Sebab selain mahalnya harga pupuk non subsidi, hasil panen para petani juga dirasa kurang maksimal karena gangguan hama tanaman.
“Permasalahan yang sering dihadapi petani di lapangan banyak berkaitan dengan gangguan hama pada tanaman. Sementara obat pengendali hama yang dijual di pasaran juga mahal. Belum lagi harga pupuk non sunsidi yang juga tinggi, ini membuat biaya produksi membengkak,” ungkap Irjawati Abdullah.
Kepala Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP), Sutardi, SP, M.Pd selaku narasumber membeberkan, dalam Bimtek tersebut petani tak hanya disuguhi teori penanggulangan hama. Namun juga diajarkan praktik membuat ramuan organik yang berfungsi sebagai pupuk maupun sebagai pengendali hama.
“Praktik yang dilakukan adalah perbanyakan agensia hayati cendawan trichoderma sp, pembuatan pestisida nabati, pembuatan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan pembuatan elisitor nuswantara biosaka. Pada kesempatan ini petani langsung mempraktikkan pembuatan keempat ramuan ajaib tersebut dengan bahan organik yang berasal dari tumbuhan di sekitar lokasi praktik,” terang Sutardi.
Sutardi menerangkan, trichoderma sendiri merupakan cendawan antagonis yang berfungsi menghambat perkembangbiakan jamur penyebab penyakit tanaman (patogen).
Sementara pestisida nabati, dimanfaatkan untuk pengendalian hama penyakit antraknosa (busuk buah) pada cabai. Penyakit ini merupakan penyakit dominan, posisinya rangking 1 di Papua Barat dan Papua Barat Daya.
“Salah satu pengaruhnya adalah faktor iklim, pengolahan tanah, jarak tanah dan kelembaban. Biasanya pada waktu curah hujan tinggi, populasi penyakit ini pasti bertambah. Jadi ketika salah satu buah cabai sudah terinfeksi antraknosa, buah tersebut harus dibuang. Sebab jika tidak, penularannya akan sangat cepat karena sporanya menyebar,” kata Sutardi.
Adapun bahan dasar yang digunakan untuk pembuatan pestisida nabati pengendali patogen, terdiri dari air yang dicampur dengan irisan tumbuhan rimpang seperti jahe, kunyit dan lengkuas.
Selanjutnya, PGPR merupakan bakteri pengakaran yang berfungsi untuk memacu pertumbuhan tanaman (imunisasi bagi tanaman). Ramuan ini dibuat dengan menyiapkan biang (F1) dan pembutan perbanyakan PGPR. Adapun ekseptonya sendiri terbuat dari larutan akar bambu, akar alang-alang, akar rumput gajah, akar sereh dan akar putri malu.
Selain itu, juga dilakukan praktik pembuatan ramuan ajaib elisitor nuswantara biosaka. Ramuan ini berfungsi untuk menjadikan tanaman lebih subur dengan hasil produksi yang lebih bagus.
Dikatakan Sutardi, penggunaan pupuk dan pengendali hama berbahan organik memiliki banyak manfaat. Dimana selain minim biaya karena bahan-bahannya telah tersedia di alam, ramuan irganik juga dapat membantu memperbaiki struktur tanah dan menjaganya tetap gembur.
“Tentu dengan tanah yang gembur maka penyerapan nutrisi bagi tanaman lebih maksimal, hasil panennya pun lebih bagus. Selain itu, secara kualitas, tanaman pangan yang diproses menggunakan bahan organik juga lebih aman dikonsumsi karena tidak terpapar bahan kimia,” lanjutnya.
Pihaknya berharap, setelah pelatihan tersebut, masyarakat petani di Raja Ampat dapat mengaplikasikan ilmu yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas hasil pertaniannya. Selain itu, dengan penggunaan bahan organik secara massal dalam aktivitas pertanian, diharapkan tercipta gerakan selamatkan alam kembali ke alam. (*)